Parkir di garis pertama adalah Sumber Kencono AC tarip biasa. Tanpa niat pilih-pilih bis, saya pun naik bis ini dan duduk manis di shaf kedua agar lebih afdhol, alias untuk mendapatkan keutamaan perjalanan. Alasan duduk di baris ini karena kursi baris pertama sudah ada "penduduk"-nya. Saya menoleh ke belakang. Jumlah penumpang sudah lumayan. Berita kecelakaan lalu lintas di Mojokerto yang melibatkan nama besar bis ini dengan sebuah Isuzu ELF beberapa waktu lalu rupanya tidak mengurangi daya tarik okupansinya.
Dan seperti hampir semua bis-bis Sumber Kencono, bis bernomor lambung W-7564-UY yang saya naiki ini langsung bermain tempo tinggi saat lepas landas dari terminal Purabaya pada bukul 1 kurang tiga menit. Gas digeber seolah sedang drag. Tetapi, cara seperti ini tidak lantas membuat saya berasumsi bahwa bis bakal ugal-ugalan di jalan raya.
Cara mengemudi sopir bis segera meyakinkan saya untuk memesan tiket sampai Kartasura. Bukannya coret samapai Jogja? Tidak, Kartasura saja. Saya berazam subuhan di sana.
Hino mesin depan dengan peredam yang baik membuat deru mesin di RPM tinggi pun tidak menimbulkan suara berisik di dalam kabin yang ber-AC. Lantunan musik kalem menipu sensasi penumpang kalau bis sejatinya sudah menjalankan gigi 6 sebelum mencapai pertigaan Medaeng.
Cara mengoper gigi/perseneling sopir ini terbilang aneh. Kopling hanya diinjak sedikit, barangkali setengah. Akibatnya, deru mesin masih mengaum ketika perseneling sudah berpindah. Bis tetap bisa melaju konstan dalam kecepatan tinggi. Bagaimana nasip kampas kopling? Entahlah, mungkin cara ini merupakan perilaku tidak sopan terhadap mesin, tapi toh mesin tidak mengeluh karena mesin tidak menulis diari. Maka, Sumber Kencono bermesin AK8 yang saya naiki benar-benar berasa bis dengan transmisi otomatis namun tetap memiliki akselerasi yang dahsyat.
"Prei kiri…"
"Totoooot !!"
Bunyi klakson bertubi-tubi.
"Kres!"
Tubuh penumpang tersorong ke depan.
Deru mesin turun seketika. Beberapa detik kemudian, asap knalpot menyembur kembali, putaran meninggi; intai kanan, intip kiri.
"Awas sepeda! Kanan ae.."
Sungguh jarang saya temukan kernet bis yang benar-benar berfungsi sebagai navigator selain pada Sumber Kencono. Tugas kernet di bis-bis reguler umumnya hanyalah sebagai teman ngobrol yang duduk di kursi kiri, meladeni sopir dari rasa bosan karena terus-terusan melihat aspal yang begitu-begitu saja. Selain itu, tugas kernat hanyalah sebagai tukang teriak mencari penumpang, pula sebagai tukang buka bagasi, juga sebagai tukang ganti ban jikalau pecah. Di sini, tugas seorang kernet berubah menjadi sebuah tugas yang butuh kecermatan dan kecepatan melihat peluang di depan, sejenis profesional muda lah. Saya menyaksikan tugas tersebut sebagai sebuah amanah yang sungguh vital. Kata lainnya, kernet adalah "sopir di sisi kiri".
Masuk bypass Krian, seorang penumpang naik. Saya bertanya di dalam hati, apakah penumpang ini tidak tahu-menahu perihal kecelakaan maut di Sidorejo beberapa waktu lalu? Belum sempat berpikir macam-macam, tiba-tiba saja bis sudah keluar dari jalan lingkar luar itu. Tiga puluh menit untuk jarak tempuh Surabaya-Krian.
Perolehan penumpang, dengan menilik tempat duduk, masih tetap bagus. Bis tidak sesak. Bahkan, lebih banyak penumpang yang naik daripada yang turun. Namun, bis tetap memburu, terus melaju, entah untuk target apa. Target waktu? Mungkin. Belum saya lihat ada kendaraan yang mendahuluinya kecuali pada saat hendak berhenti. Testimoni ini terbukti selepas stasiun Jombang, ketika pukul 2 lewat 4 menit, bis 7564 mendahului rekan seperjuangannya, Sumber Kencono 7663 yang entah berapa menit berangkat lebih awal dari Surabaya.
Gelap dan hitam pada aspal dan seluruh pemandangan membuat kehendak tidur tak dapat dilawan. Mata saya buka-tutup, seperti lampu sein, antara tidur dan jaga. Buka: terminal Nganjuk (saat itu saya masih sempat mengecek SMS yang masuk dan tahu persis jam menunjukkan pukul 2.43). Lalu, mata saya kembali mengatup saat bis lewat kota Caruban. Buka lagi: Madiun. Pejam lagi Geneng.
Buka lagi dan saya pun nanar di alas selepas Ngawi karena suatu hal, yakni auman mesin sementara ia berjalan tidak seberapa kencang. Rupanya, bis sedang bergoyang ke kanan dan ke kiri, melahap tikungan dan liukan jalan di antara pohon-pohon jati yang ranggas dan tinggi. Bis kami terjebak dalam konvoi kendaraan.
Pukul 4.28.
Subuh sudah lewat, tapi langit masih gulita sehingga lampu ekor kendaraan yang merah dan kuning sama-sama redup dan berdenyar dalam kegelapan. Kemudian, tampkalah MIRA Scorpion King. Agak sulit melampauinya. Namun, Sumber Kencono ini akhirnya lolos setelah bis cokelat ber-AC tersebut terperngkap dalam iring-iringan di belakang truk, sementara jalan sisi kanan lebih dulu dikapling moncong si SK.
Lepas dari MIRA, bis berada di belakang Gunung Harta. Mudah ditebak, hanya dengan beberapa kali memberikan isyarat lampu dim, mengancam pantulan spionnya dengan memainkan lampu dekat-lampu jauh secara cepat, Sumber Kencono menyalipnya dan menjauh, meninggalkan garis penalti sebelum polisi lalu lintas memergokinya karena mendahului kendaraan di garis putih panjang.
"Itu masjid, Pak?" tanya saya kepada kondektur ketika bis berhenti di lampu merah Pilangsari, Ngrampal, Sragen.
"Iya. Masjid itu."
"Saya turun di sini saja."
Kondektur membukakan pintu dengan tetap tidak menjejakkan kaki ke tanah. Saya turun dan bergeges menuju masjid, bis bergerak meninggalkan deru seiring lampu APILL (alat pemberi isyarat lalu lintas) atau traffic light telah berubah ke warna hijau.
Selesai shalat subuh. Hati menjadi lapang. Wajah terasa berseri-seri saat memandang ufuk timur, melihat langit yang mulai merekah. Tak jauh dari jalan raya, saya menemukan sebuah warung kecil yang menjual kopi. Setelah memesan dan menyeruputnya, cahaya mata pun semakin cerah. Dengan jelas saya melihat sebuah bis MIRA melintas, diuntit MILA Sejahtera Banyuwangi-Jogja, terpaut hanya beberapa meter dibelakangnya. Barangkali kedua bis ini sama-sama menghindari lampu lalu lintas yang akan segera berubah ke warna merah.
Tiba-tiba, terbayang kematian berkelebat begitu saya melihat perempatan jalan itu mulai ramai dan lalu lintas mulai padat. Sepeda motor, gerobak, becak, pejalan kaki, semuanya kelihatan tergesa-gesa. Sungguh, kiranya kecelakaan lalu lintas bukan saja disebabkan oleh pelanggaran semata, melainkan juga oleh sikap tak mau mengalah dan hilangnya rasa sabar.
Saya kembali ke tepi jalan, melupakan fantasi barusan dan segera bersiap untuk menghentikan bis yang akan segera membawa saya ke Jogja, melanjutkan perjalanan.
Dan seperti hampir semua bis-bis Sumber Kencono, bis bernomor lambung W-7564-UY yang saya naiki ini langsung bermain tempo tinggi saat lepas landas dari terminal Purabaya pada bukul 1 kurang tiga menit. Gas digeber seolah sedang drag. Tetapi, cara seperti ini tidak lantas membuat saya berasumsi bahwa bis bakal ugal-ugalan di jalan raya.
Cara mengemudi sopir bis segera meyakinkan saya untuk memesan tiket sampai Kartasura. Bukannya coret samapai Jogja? Tidak, Kartasura saja. Saya berazam subuhan di sana.
Hino mesin depan dengan peredam yang baik membuat deru mesin di RPM tinggi pun tidak menimbulkan suara berisik di dalam kabin yang ber-AC. Lantunan musik kalem menipu sensasi penumpang kalau bis sejatinya sudah menjalankan gigi 6 sebelum mencapai pertigaan Medaeng.
Cara mengoper gigi/perseneling sopir ini terbilang aneh. Kopling hanya diinjak sedikit, barangkali setengah. Akibatnya, deru mesin masih mengaum ketika perseneling sudah berpindah. Bis tetap bisa melaju konstan dalam kecepatan tinggi. Bagaimana nasip kampas kopling? Entahlah, mungkin cara ini merupakan perilaku tidak sopan terhadap mesin, tapi toh mesin tidak mengeluh karena mesin tidak menulis diari. Maka, Sumber Kencono bermesin AK8 yang saya naiki benar-benar berasa bis dengan transmisi otomatis namun tetap memiliki akselerasi yang dahsyat.
"Prei kiri…"
"Totoooot !!"
Bunyi klakson bertubi-tubi.
"Kres!"
Tubuh penumpang tersorong ke depan.
Deru mesin turun seketika. Beberapa detik kemudian, asap knalpot menyembur kembali, putaran meninggi; intai kanan, intip kiri.
"Awas sepeda! Kanan ae.."
Sungguh jarang saya temukan kernet bis yang benar-benar berfungsi sebagai navigator selain pada Sumber Kencono. Tugas kernet di bis-bis reguler umumnya hanyalah sebagai teman ngobrol yang duduk di kursi kiri, meladeni sopir dari rasa bosan karena terus-terusan melihat aspal yang begitu-begitu saja. Selain itu, tugas kernat hanyalah sebagai tukang teriak mencari penumpang, pula sebagai tukang buka bagasi, juga sebagai tukang ganti ban jikalau pecah. Di sini, tugas seorang kernet berubah menjadi sebuah tugas yang butuh kecermatan dan kecepatan melihat peluang di depan, sejenis profesional muda lah. Saya menyaksikan tugas tersebut sebagai sebuah amanah yang sungguh vital. Kata lainnya, kernet adalah "sopir di sisi kiri".
Masuk bypass Krian, seorang penumpang naik. Saya bertanya di dalam hati, apakah penumpang ini tidak tahu-menahu perihal kecelakaan maut di Sidorejo beberapa waktu lalu? Belum sempat berpikir macam-macam, tiba-tiba saja bis sudah keluar dari jalan lingkar luar itu. Tiga puluh menit untuk jarak tempuh Surabaya-Krian.
Perolehan penumpang, dengan menilik tempat duduk, masih tetap bagus. Bis tidak sesak. Bahkan, lebih banyak penumpang yang naik daripada yang turun. Namun, bis tetap memburu, terus melaju, entah untuk target apa. Target waktu? Mungkin. Belum saya lihat ada kendaraan yang mendahuluinya kecuali pada saat hendak berhenti. Testimoni ini terbukti selepas stasiun Jombang, ketika pukul 2 lewat 4 menit, bis 7564 mendahului rekan seperjuangannya, Sumber Kencono 7663 yang entah berapa menit berangkat lebih awal dari Surabaya.
Gelap dan hitam pada aspal dan seluruh pemandangan membuat kehendak tidur tak dapat dilawan. Mata saya buka-tutup, seperti lampu sein, antara tidur dan jaga. Buka: terminal Nganjuk (saat itu saya masih sempat mengecek SMS yang masuk dan tahu persis jam menunjukkan pukul 2.43). Lalu, mata saya kembali mengatup saat bis lewat kota Caruban. Buka lagi: Madiun. Pejam lagi Geneng.
Buka lagi dan saya pun nanar di alas selepas Ngawi karena suatu hal, yakni auman mesin sementara ia berjalan tidak seberapa kencang. Rupanya, bis sedang bergoyang ke kanan dan ke kiri, melahap tikungan dan liukan jalan di antara pohon-pohon jati yang ranggas dan tinggi. Bis kami terjebak dalam konvoi kendaraan.
Pukul 4.28.
Subuh sudah lewat, tapi langit masih gulita sehingga lampu ekor kendaraan yang merah dan kuning sama-sama redup dan berdenyar dalam kegelapan. Kemudian, tampkalah MIRA Scorpion King. Agak sulit melampauinya. Namun, Sumber Kencono ini akhirnya lolos setelah bis cokelat ber-AC tersebut terperngkap dalam iring-iringan di belakang truk, sementara jalan sisi kanan lebih dulu dikapling moncong si SK.
Lepas dari MIRA, bis berada di belakang Gunung Harta. Mudah ditebak, hanya dengan beberapa kali memberikan isyarat lampu dim, mengancam pantulan spionnya dengan memainkan lampu dekat-lampu jauh secara cepat, Sumber Kencono menyalipnya dan menjauh, meninggalkan garis penalti sebelum polisi lalu lintas memergokinya karena mendahului kendaraan di garis putih panjang.
"Itu masjid, Pak?" tanya saya kepada kondektur ketika bis berhenti di lampu merah Pilangsari, Ngrampal, Sragen.
"Iya. Masjid itu."
"Saya turun di sini saja."
Kondektur membukakan pintu dengan tetap tidak menjejakkan kaki ke tanah. Saya turun dan bergeges menuju masjid, bis bergerak meninggalkan deru seiring lampu APILL (alat pemberi isyarat lalu lintas) atau traffic light telah berubah ke warna hijau.
Selesai shalat subuh. Hati menjadi lapang. Wajah terasa berseri-seri saat memandang ufuk timur, melihat langit yang mulai merekah. Tak jauh dari jalan raya, saya menemukan sebuah warung kecil yang menjual kopi. Setelah memesan dan menyeruputnya, cahaya mata pun semakin cerah. Dengan jelas saya melihat sebuah bis MIRA melintas, diuntit MILA Sejahtera Banyuwangi-Jogja, terpaut hanya beberapa meter dibelakangnya. Barangkali kedua bis ini sama-sama menghindari lampu lalu lintas yang akan segera berubah ke warna merah.
Tiba-tiba, terbayang kematian berkelebat begitu saya melihat perempatan jalan itu mulai ramai dan lalu lintas mulai padat. Sepeda motor, gerobak, becak, pejalan kaki, semuanya kelihatan tergesa-gesa. Sungguh, kiranya kecelakaan lalu lintas bukan saja disebabkan oleh pelanggaran semata, melainkan juga oleh sikap tak mau mengalah dan hilangnya rasa sabar.
Saya kembali ke tepi jalan, melupakan fantasi barusan dan segera bersiap untuk menghentikan bis yang akan segera membawa saya ke Jogja, melanjutkan perjalanan.